Bagaimana Jika ia Menjadi Memori?

 


“Ibarat otak kita sebuah lemari, maka memori kita adalah folder-foldernya.” kata-kata dr. Ghea terngiang jelas saat dulu kami bekerja di NGO yang sama. Kata-kata yang kuimajinasikan saat itu juga, dan menjadi folder baru di lemari ku yang penuh ragam ini. Dan, sepanjang kujalani, selalu ada hari dimana folder-folder yang mungkin sudah kita kubur dalam dan nyaris hilang, muncul di waktu yang paling random. Mentrigger diri, sering di saat kita tidak siap. Napas menjadi berat, jantung dihantam sesuatu yang besar. DUG!

Waktu berhenti.

Mungkin sudah waktunya melupakan dan…. 

Membenci? Should I?

…..

Aku duduk di ruang guru sore ini, setelah perasaan berkecamuk dan lelah seharian. Di saat-saat tertentu, kadang kita harus menghadapi sesuatu yang tidak kita inginkan. Yah, tidak apa-apa. Toh, tidak terjadi setiap hari, hiburku pada diri. Mungkin akumulasi dari jetlag, suhu dingin, dan kurang tidur beberapa hari ini. Mungkin juga adaptasi di profesi baru, sebagai guru di negeri orang.

Aku cuma lelah, tapi tidak tahu dimana letaknya. Rasanya seluruh aku menjadi remuk dan melemah seketika. Badmood? Bisa jadi. Tapi badanku juga terasa agak pegal. Dan kepalaku sedikit menolak beberapa hal yang ada di dunia ini, termasuk…

seseorang yang paling membekas sebelum aku meninggalkan Indonesia kali ini

 

Aku sempat lupa, tapi amigdala (bagian otak yang bertanggung jawab dengan emosi)-ku sedang aktif-aktifnya. Maka memori pedih itu tiba-tiba terputar.

Wajahnya muncul di otakku. Matanya berbinar dan tersenyum penuh salah. Dia tidak mengatakan apapun sejak pesan whatsapp terburuk yang kuterima darinya kala itu.

“Waduh kenapa?”. Aku agak terkejut membaca pesannya itu. Aku pikir meskipun kita telah menyelesaikan drama yang tak berujung itu, kita masih teman.

“Kenapa waduh? Chill aja lah, cuma nanya kok. Kamu takut aku samperin kah? Masih menghindar ya. I thought we were still friends?” pesan yang kuhapus dan kuganti menjadi “Gapapa tanya aja wkwkwkwk”. 

Kurasa, tak normal rasanya membalas pesan seorang ‘teman’ yang bertanya “Kamu kapan ke Jakarta?” dengan dua kata ‘waduh kenapa’. Jika saja pertanyaan receh itu kulontarkan ke teman lain, jawabannya tidak mungkin akan seburuk itu. “Ohhh belum tahu inii, gimana?” atau “Hmm, kapan yaa? Gatau sih haha”. Tapi “Waduh kenapa?” terdengar seperti aku menyerang, mengejar, berharap, bersimpuh di kedua lutut sambil nangis-nangis dan bilang “Ke Jakarta, please.” 

Sayang dan care itu memang bisa bikin bucin, aku mengerti. Tapi terlalu murah kurasa menumpahkan effort dan emosi untuk seorang laki-laki yang bahkan tidak mau memperjuangkan ku sampai akhir. Dari situ, aku jadi tahu. Aku punya hati sebesar dan segenuine itu. Sayang sekali jika harus kubagi dengan orang yang tampaknya kurang pantas. Begitulah kiranya kesan yang membekas sebagai jejak terakhir dari memori yang aku tangisi empat bulan lalu. Tidak sepenuhnya yakin masih bisa menjadi teman. Entah teman apa yang dia maksud waktu itu, “Tetap sahabatan yaa”, “Kita tetap teman baik kan?” setelah mundur dari hubungan yang menurutnya sulit disatukan.

Sore ini, aku benar-benar campur aduk. Ocehan anak kelas sepuluh yang kurang sopan, tidak bisa presentasi karena kendala teknis, dan listrik yang tiba-tiba mati di saat aku tengah berusaha mencoba mengkoneksikan laptop dengan screen. Dan, sebagian folder tentang laki-laki itu tiba-tiba muncul, beberapa detik, lalu stay di otakku.

Are you okay? You look sad..” kata flatmate-ku, yang juga merupakan seorang guru di sekolah yang sama.

I am..hm, okay.” jawabku sambil mengambil hp, mengetik nama akun laki-laki itu di laman pencarian Instagram. Ohh, dia menambahkan sebuah highlight. Entah kenapa, aku menonton highlight barunya itu sampai selesai. Aku perhatikan tanggal, tempat, orang-orang yang ada di sana. Hmm.. kemudian muncul foto pantai, Rinjani, sepatu nike. Aku ingat story-story ini, muncul di tengah drama hubungan itu. Dan sekarang jadi highlight yang bisa kutatap lebih lama.

Loh.. kok jadi kepo gini ya aku?

Tapi, kenapa ya. Dia masih stay di memori. Harusnya mudah bagiku melupakan orang seperti dia, yang tidak seberani aku untuk ada di hubungan itu dulu. 

Dan ya, kesan buruk terakhir itu…

sangat pantas bagiku untuk memblock-nya dari kehidupanku yang indah ini. 

 

Aku ingin sekali membenci, bukan orangnya mungkin. Seperti ingin benci saja dengan perasaan berat yang tidak properly closured. Benci saja dengan hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi, atau benci saja dengan komunikasi intense yang pernah terjadi di antara dia dan aku yang sebenarnya penuh dengan resiko; perbedaan tembok tinggi, yang seharusnya sudah dipikirkan matang. Mungkin justru kebingungan itu, tentang jatuh berdua, aku patah tulang dan sangat remuk, lalu bagaimana dengan dia? Apa dia baik saja? Aku tahu dia terluka, tapi dia memilih berlari agar tampak tegar. Apakah itu benar kejujurannya? Atau dia datang sebagai laki-laki dewasa normal yang penasaran dengan duniaku tanpa menaruh hati yang sebenarnya? Kebingungan ini… sebenarnya sudah tidak perlu. Hanya tidak terjawab dan ditutup dengan baik. Sebab itulah, hatiku tetap datar. Seperti aku tidak kehilangan sesuatu yang berharga, meskipun pernah menangis habis-habisan kala itu. Meskipun membawa kisah ini sendirian ke hal yang lebih sakral. Meskipun…

Meskipun aku merasakan jatuh cinta ter-lain yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Yang bahkan aku tak tahu bagaimana bisa terjadi sesingkat itu namun memiliki kedalaman yang sulit kujelaskan. Sementara itu, otakku tetap menginginkan untuk jaga dia sebagai kenangan baik.

“Engga ah, dia tidak baik. Aku saja yang agak bodoh waktu itu” batinku. Again. Membingungkan.

 

Ahh, I want to go home, still one hour more to stay. I don’t want to talk to anybody till the end of this day.

Aku menghela napas, memejamkan mataku beberapa detik.

“Reliza, why are you so sad? Take this. You might be better” sahut flatmate-ku itu, menyodorkan coklat yang kuberi padanya semalam karena dia menangis dan gelisah sepanjang hari. Urusan personal, dan aku tahu betul apa yang dia rasakan. 

Aku tertunduk dan tertawa kecil, namun panjang. 

“Ella!! You copied my words!”. Kita tertawa tertahan, berusaha tidak menimbulkan noice di ruang guru. Sesaat…

Huft.

Huft.

Beberapa detik, perasaanku lesu lagi.

Kembali kubuka hp.

Aku menatap akun instagramnya. Mungkin ya, mungkin saja. Aku harusnya bersyukur dijauhkan dari dia. Sejauh ini loh jaraknya, Kyrgyzstan – Indonesia, 18 jam perjalanan udara dan darat. Setinggi itu temboknya, Islam dan Hindu, dan budaya lokal yang benar-benar berbeda. Apa sebenarnya rencana Tuhan untuk diriku? Tidak ada pesan atau kesan lain selain “Waduh kenapa?”. Padahal sejak koneksi itu dipaksa putus, aku merasa tetap meninggalkan kesan baik padanya. Seperti yang dia minta, as a friend. Kalau ketemu lagi, as a friend. Dia sendiri yang minta, dia yang menghindar. Dan aku benar-benar memperlakukannya seperti teman. Meski kita belum bertemu lagi sejak hari itu, aku masih baik dan tenang dalam komunikasi via teks. 

Maka, sebenarnya.. aku tak tahu dia ini apa dalam folderku. Sebagai sesuatu yang tidak bergerak, namun tidak bisa kupaksa pergi. Aku tidak benci, tidak pula merasa dia yang terbaik. Jika kubilang perasaan ini biasa, dia bahkan tidak sehadir itu. Dia tidak hilang, tidak juga ter cut off. Dia bukan musuh, bukan juga sosok yang kurasakan seperti mantan kekasih. Teman? Well, tidak kurasa. Tidak ada teman se-waduh itu.

Kuperhatikan kembali fotonya. Wajahnya, matanya, lesung pipinya, kehidupannya. Kututup mata dan bernapas dalam. Aku masih ingat caranya tersenyum padaku, menatapku dalam, dan cara nya memanggil namaku. I adore him. I mean, his folder in my cupboard was lovely. Dia ada, tapi aku masih tak mengerti dia apa.

Apa dia akan hilang, apa dia kembali lagi nantinya. Aku tak tahu masa datang. 

Tapi saat ini, kau ini apa? 

Dan aku.. harus gimana?

…..

“Dok, boleh aku tanya suatu hal? Aku tahu memori tidak bisa hilang. Tapi apakah ada cara agar folder-folder tersebut tidak muncul?” tanyaku pada dr. Ghea yang tengah menandatangani dokumen HR.

“Hmm.. ada. Cara pertama, menumpuk folder itu dengan banyak folder baru. Itu akan sangat membantu, Ya, meskipun folder lama itu bisa saja tiba-tiba muncul. Tapi, cara kedua mungkin bisa lebih efektif.”

“Oh yaa? Apa itu?”

“Merubah value folder itu”. Aku berpikir sejenak.

“Ohh..Maksudnya seperti ini ya. Memori sedih di masa lalu bisa berubah perlahan menjadi memori lucu ya, Dok?”

“Betul”

“Tapi apakah itu hanya memerlukan waktu?”

“Waktu pasti. Selain itu, butuh rasionalisasi juga. Kalau sudah mentok dari diri sendiri, rasionalisasi bisa saja didapat dari sekitar. Semakin banyak ide rasional yang didapat, semakin mudah value memori itu diubah”

“Ahhh, baik dok”

Aku tersenyum. Folder tentang obrolan bersama dokter Ghea tentang memori masih jelas dan rapih di lemariku.

..

Listrik seketika menyala, aku meraih laptop dan menuju kelas kosong untuk mencoba meng-koneksi-kan nya lagi. Semoga kali ini aku beruntung. Semoga, untuk yang pertama. 

Yang kedua, semoga ada saat dimana folder tentang laki-laki yang pernah dalam terbaring di relung ku itu, bisa berhenti kudebatkan dan bisa kusimpan dengan damai dan ikhlas. 

So..

There's no way to cancel his folder and the copy, anyways

I might be just letting it faded

Or perhaps, all this confusion appears because I realised lately that I was about to missing him after all?

for 'idk' reason, the second thought could be a Yes.

 

Komentar