A New Home in Stirling
Hiya,
Pal!
Salam
hangat dari negeri dongeng; tempat mimpi-mimpi tumbuh subur dan berkembang.
Kita hidup berempat di
sini; Ella, Tari, Luni, dan tentu saja si protagonist
dan yang paling manis di antara mereka; aku….
Ehem.
Boleh
dibilang beruntung, tapi boleh jadi tidak: kita bertanah air sama, Indonesia.
Meski jelas berbeda di antara penduduk negeri dongeng lainnya, tetangga kita
begitu ramah dan sangat menjunjung toleransi. Bahkan nyaris tidak ditemui racism di kota ini. Kita perempuan, Asian, muslim, berhijab. Ada banyak alasan untuk mem-bias-kan itu. Tapi tidak di negeri dongeng ini, semua makhluk
menetap dengan damai. Pasti, perawakan kita awalnya mencuri perhatian sekitar,
tapi lingkungan akan selalu menerima, respect,
dan saling support atas segala macam
perbedaan. Itu membentuk kita menjadi manusia berhati baik dan berpikiran luas.
Sebab itulah, rasanya begitu betah tinggal di sini. Belajar banyak hal dan
mendapat hal lain yang jauh lebih besar, termasuk kebahagiaan.
Meski
semuanya keras kepala dan kadang tidak akur, tapi kita saling menyayangi. Sama-sama tangguh, berani, dan berdiskusi
tentang apapun; kuliah, nasib, gossip,
dan laki-laki, selayaknya perempuan. Selain itu, kita suka sekali tertawa dan
saling menertawakan. Iya, bully-membully tidak akan pernah absent. Selalu ada hal yang menjadi
topik candaan setiap harinya. Kata Ella, tingkat tertinggi dari persahabatan
itu adalah bully.
Jadi,
inilah rumah kita. Bukan tentang pondasi,
dinding, dan atap. Bukan pula pemandangan
baru, udara segar, dan musim yang berbeda. Tapi kitalah yang menjadi
rumah untuk diri kita sendiri. Tempat paling aman untuk berkeluh kesah dan
tertawa sekencang-kencangnya.
Terimakasih
ya, aku dan ketiga temanku sangat senang menerima tamu dan berteman dengan orang
baru. Oh ya, bersama surat ini, kita sampaikan sebuah lampiran cerita kecil
sebagai souvenir. Barangkali bisa
dinikmati saat senggang. Jangan berharap itu seru, hanya ingin berbagi saja kok.
Lagipula kurang-kurangilah berekspektasi tinggi pada sesuatu yang gratis, oke. Selamat
berpetualang.
Best
wishes,
para
pemimpi yang tak ingin bangun dari dongeng ini.
****
Lampiran
Budeg.
Part
A
Masih
jelas teringat, aku menghapus keharuan yang tersisa saat pesawat yang
kutumpangi mulai mendarat di Edinburgh di suatu subuh. Setelah 16 jam di udara plus 2 jam transit di Doha, Qatar,
akhirnya sampai juga. Ada takjub yang mendalam bahwa aku bisa melanjutkan
pendidikan di the United Kingdom (UK), sebuah tempat impian yang telah lama
menjadi harapan dalam doa. Bukan bangga pada diri, tapi syukurku tak henti atas
apa yang telah Tuhan gariskan padaku setelah bertahun lamanya, setelah candaan
cemooh dari kerabat yang tak percaya bahwa aku bisa bersekolah di negeri Eropa.
Hari itu aku bersama tiga temanku; Ella, Tari, dan Luni masih sama tak percaya
akan memiliki cerita panjang menjadi sebuah rumah baru di kehidupan barat. Kita
tidak pernah sejauh ini berjalan sebelumnya. Berempat pula, tanpa siapapun yang
dituakan. Satu-satunya guide kita
adalah keberanian. Berani untuk nekat, karena
tersesat pun tak ‘kan sendiri, itu saja yang kita pegang.
“Re, kopermu loh!” Ella
tiba-tiba teriak saat aku menarik koper dari tempat pengambilan barang. Segera
kuperiksa kedua koperku. Aduh,
batinku. Salah satu koperku rodanya hilang satu, dan bagian belakangnya retak. Ella lalu memastikan kopernya dan yang lain
baik-baik saja, lalu ia menghampiriku.
“Sepertinya bisa
dilaporin kok ini. Coba dulu, Re” sahut Ella. Aku memutuskan untuk mencari Help
Desk. Kiri kanan depan belakang kususuri. Bandara ini tidak besar sebenarnya,
hanya saja suasananya begitu sepi. Mungkin karena subuh. Hanya ada beberapa
petugas dan penumpang yang turun dari satu pesawat saja.
Ah, itu dia! Akhirnya.
Sebuah ruang kaca dengan dinding ber-wallpaper merah, ada plat bertuliskan Help
Desk di atasnya. Dua laki-laki bule berkemeja
stay di sana, mengetik sesuatu di PC
dan sesekali memerhatikan passengers
berlalu lalang, persis mas-mas
customer service pada umumnya di Indo.
“Excuse me, my luggage’s
broken. Could you please help me?”aku berbicara ke salah satu dari mas-mas itu. Agak nervous. Ini pertama kalinya aku berbicara dengan seorang Scottish, langsung di negaranya pula.
“Hmm, alright. Sorry to
know that. Two seconds, please” mas-mas
ini memeriksa koperku, lalu kembali ke meja nya.
“So, your luggage’s
broken. How jkjlkjklhjkxzgjxvshjklahjdkskjdsjfkasbksakfa….”
Hah?
Ini mas nya ngomong apa ya. Apa daya pendengaranku menurun karena terlalu lama
di pesawat? Tapi tadi tidak berdenging sepertinya. Tunggu. Sabar. Aku simak
betul kata-katanya. Ah, aku sama sekali tidak bisa mendengar seluruh kata dari mas-mas berambut coklat tua ini! Hanya
beberapa saja, tapi aku khawatir akan jadi multi tafsir. Masnya ngomong apa sih?
Serius deh, ga ngerti.
Si mas nya tiba-tiba
menyodorkan formulir.
“Pardon? Eee.. so, I
need to fill it?” dia hanya mengangguk. Aku segera mengisi formulir yang hanya ada
beberapa pertanyaan singkat seperti alamat email, alamat rumah yang akan
ditempati di UK, etc. Lalu kukembalikan
kepada si mas Scottish itu. Dia
mengetik sesuatu di PC dan memintaku untuk menyebutkan nama lengkapku.
“ and also your
josjfslkajxkznksjda…please?”
Huft, please, Mas, kamu ngomong apa, sih? Aku
sama sekali tidak bisa mendengar dengan jelas. Kenapa mendadak budeg begini.
“I’m sorry? What did
you say?” aku makin ragu. Mas Scottish
itu mengulangi sekali lagi dan aku masih tidak paham.
“Place of Birth. The-place-where-you-were-born..”
dia menekan per kata.
“Ouh, Kepahiang!” Fyuhh,
ternyata itu. Entah apapun lah selanjutnya aku hanya berharap dia tidak
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang panjang dan sukar. Telingaku sepertinya sedang
tidak baik-baik saja. Ini sangat mengganggu!
“Okay…” dia memberiku
semacam receipt.
“So, what you need to
do is jksdklasnfklsmfklsnfklsnkjnsaljsdkNjfdkgjdfklgjldfjgkdjg;lzjdsglhdlzgjldjgz;ldjgdhgk…”
Ya Allah. Fixed, ini
panjang dan complicated. Aku mulai
cemas dan berpikir keras, ini informasi penting tapi aku sama sekali tidak
mengerti apa yang dia bicarakan. Aku mengambil napas dalam,
menghembuskannya sambil merenungi kebudeganku
ini. Sepertinya bukan telingaku yang error. Hmm, tapi masa mas nya yang ngomong belepotan?
Terlalu cepat kali ya? Aku memukul kepalaku pelan. Ayo, Re. Paham, Re. Aku
tidak bisa berpikir jernih kali ini. Oke, coba sekali lagi..
“Emm.. could you please
repeat it once more?” wajah mas Scottish
berubah, terdengar helaan napasnya mulai agak diberat-beratkan. Ia lalu
mengulanginya lebih pelan dengan nada menahan emosi. Tapi, tetap saja. Aku sama
sekali belum paham.
Baiklah, ini bukan
karena mas-nya terlalu cepat, telingaku lama tertekan di pesawat, belum
sarapan, nervous pertama ngobrol
dengan local people, atau spekulasi lainnya. Semua analisa spontan ku itu
tampaknya keliru. Beberapa detik aku terenyuh dan mendadak terilhami. Oh, Gosh. Pronunciation-nya, Re. Kamu
lupakah ini di Scotland? Aku bergumam sendiri. Ya ampun, Re. Setengah sadar nih. Bangun yuk, bangun. Aku menepuk-nepuk jidatku pelan.
Meskipun bahasanya
English, tapi Scottish accent sangatlah khas. Aku belajar American dan British
accent lebih lama, tapi Scottish memang begitu special. Padahal, sebelum berangkat ke UK, aku sedikit banyak belajar
beberapa penyebutan kosa kata dan istilah sehari-hari Scottish people, tapi ya
sudah pasti, masih sangat dangkal. Seperti yang kalian duga, theory tidak seluas dan sedinamis
praktik. Ada banyak lautan yang harus kuselami untuk menjadi penyelam handal!
Begitulah kira-kira.
Gapapa,
Re. Yuk belajar. Life must go on, batinku. Aku
terbangun dari diam dan menyadari bahwa mas-mas Scottish sedang menatapku, menunggu ku berbicara.
“I’m sorry. But I don’t
understand..Do you mean…emm..do, do you mean…” aku grogi. Kulihat teman-temanku
di belakang, bersandar di dinding dan kursi-kursi karena kelelahan. Aku
meringis, berbisik ke mereka dengan ekspresi wajah malu menahan ketawa; help meee.
Sementara itu, mas Scottish sepertinya sudah tidak bisa
sesabar tadi. Ia menghela napas lebih berat dan kembali menjelaskan sambil
menekan-nekankan pena ke receipt. Mas-nya subuh-subuh sudah kubuat badmood ya, maaf deh, mas gumamku.
Eh sebentaaar.. Ah!
akhirnya aku paham! Mungkin otakku bekerja maksimal ketika mulai beradaptasi dan
menerima sikon. Jadi, informasi dari mas Scottish ini adalah; aku harus
mengirimkan email ke alamat yang tertera di receipt
ini untuk pengajuan complain dikarenakan
Help Desk hanya bisa membantu melaporkan saja. Peraturan yang berlaku adalah passenger harus tetap reconfirms langsung ke alamat email itu
dan menceritakan kronologi sejelas-jelasnya.
“Correct?” tanyaku.
“Yes, it is”.
Yeah haha, jadi begitu.. Se-simple itu sebenarnya.
Baiklah.
Akhirnya paham
juga aku, mas.
Aku kemudian
berterimakasih dan berlalu, menemui teman-temanku di pojokan yang sudah
menunggu.
Gaes,
sumpah
dah. Anjir anjir..
Part
B
Kita sudah dua hari quarantine di rumah baru kita.
Menghitung menuju hari kesepuluh untuk menghirup udara Stirling saja sudah
sangat bergejolak. Ini UK loh, autumn
lagi. Pohon maple yang menguning dan berguguran bagus sekali untuk dijepret.
Sayangnya kita harus menaati peraturan Covid19 setempat untuk selesaikan quarantine atau harus membayar
denda 1000 GBP! Jadi yaa, hari-hari kita jalani hanya di rumah saja.
Beruntungnya, pihak Uni (University) memberi stok makanan untuk beberapa hari. Plus, Pak Wawan dan Yudin, mahasiswa
Indo yang juga kuliah di sini, membantu membeli dan mengantar pasokan bahan
baku dari groceries. Sungguh baik ya!
Jadi, kami memang tidak punya alasan abcd
untuk cheating keluar rumah. Ga
berani juga, tepatnya. Denda nya setara dengan living cost di sini selama sebulan.
Hanya saja hari-hari
mulai membosankan dan jetlag tidak
bisa dihindari. Kita hanya bisa menghubungi pihak akomodasi untuk hal urgent, atau hal-hal kecil lain,
misalnya…
“Loh, kenapa ini ga nyala ya?” aku yang ingin men-charge laptop berusaha mencoba ke stop
kontak lainnya, memastikan dimana letak masalahnya, listrik atau charger
laptopku.
“Gaes, stop kontak di
kamar kalian mati juga gak?” aku teriak sambil mengklik saklar lampu di depan kamar. Lah? Lampu kok nyala yak.
“Iya nih. Kayaknya
listrik mati” sahut Ella.
“Tapi lampunya nyala, cuy” timpalku.
Aku mengetuk pintu
kamar Tari dan Luni, ternyata jawaban mereka sama. Stop kontaknya tidak
berfungsi, tapi lampu kamar bisa menyala.
“Wait, coba kutelpon
akomodasi office ya” Tari keluar
kamar sambil mengutak-atik mobile phone nya.
“Ayo sini di kamarku
aja. Loudspeaker ya!” kita berdua masuk ke kamarku.
Tut-tut..tut-tut..
“John Forty’s here. How
can I help?”
“Hi, I want to report
an electricity problem happening at my house”
“Okay! What was
obokobokobokbokobokobokobok ?”
“What?” ujar Tari
spontan, aku terkekeh. Tari mengangkat dan menggoyang mobile phone nya ke atas, seperti sedang mencari sinyal karena
suara yang tidak jelas.
“Obokobokobokobokobok”
dia mengulanginya, tapi tetap saja, kita ga
ngerti.
“Tar, ini bukan soal
sinyal…” aku berbisik terkekeh. Petugas akomodasi dari seberang telepon tetap
berbicara.
“I’m sorry, I can’t
hear you. Speak slower, please”
“Alright. Obok, obok,
obok, obok, obok..” Tari dan aku benar-benar tidak tahan, kita berdua terkekeh sambil
menutup mulut.
“Sorry, Sir. Your voice..emm
your, your v..voice is not clear. Could you please speak slowly? I don't understand” Tari hampir
tidak bisa menahan tawa.
“Okay, I just told you
that ooooboook, oooboook, oooboook, ooboook…”
“Do you mean that we
need to do something to fix it or we need to call someone else?” aku langsung
memotong pembicaraannya, karena Tari sudah tidak sanggup lagi dan aku tak mau
larut dalam tawa juga.
“No, you
obokobokobookobokobokobokobokobok..”
“S…sorry?” aku dan Tari
saling lihat-lihatan. Kita hanya bisa
mendengar obokobokobok dari seberang telepon. Seperti kumur-kumur, kira-kira metafora nya begitu.
“Well, I’ll go to your
house soon. Okay.” Akhirnya.. kali ini baru terdengar sangat jelas.
“Okay, thanks! See
you!” telepon ditutup.
--
Lima belas menit
berlalu, seorang bapak-bapak dengan rambut
blonde bertubuh bongsor datang memeriksa listrik dan stop kontak tiap ruangan
di rumah kita. Sudah tertebak kan
seperti apa percakapan yang akan terjadi dengan bapak-bapak ini..
“Well done. If it
obokobokobok, then you need to obokobokobokobokobok..” aku dan yang lain
menutup mulut menahan tawa. Kita tidak sedang mengolok accent-nya ya. Kita menertawakan kebingungan kita sendiri yang menerka-nerka apa yang dia katakan, sama
halnya denganku sewaktu melaporkan koper yang pecah di bandara.
“Ohh I see.. Okay, then
(aku mengangguk-angguk meskipun tidak sepenuhnya paham apa yang dia infokan).
Emm, btw what’s your name?” sahutku.
“My name is Danny.”
“Daan..ny?”
“Yes, with ‘Y’”
“Ahh, haha okay!
Thanks, Danny!” dia tertawa ramah.
“You’re welcome, you’re
welcome!” ujarnya.
“Emm hi, excuse me…There’s actually another thing.. Oh wait!” Ella masuk ke kamarnya beberapa detik lalu keluar dengan
menunjuk ke arah lampu belajar.
“My lamp’s off. Could
you please check it too?” Danny langsung masuk ke kamar Ella dan memeriksa
lampu belajar, memutar-mutar, dan mencoba menyalakannya. Aku, Tari, dan Luni
menyimak dari luar.
“Hmm..” dia bergumam.
“Well,
obokobokobokobok ? And you obokobokobokobok ?” Ella bingung, raut mukanya lucu. “Sorry?” sahutnya. Aku, Tari, dan Luni
berusaha mengalihkan pandangan sambil menahan tawa.
“Yes, eeee… yes!” Ella
menjawab dengan bingung. Dia menoleh dan berbisik ke arahku ‘dia ngomong apa
sih??’ Aku menarik napas dan meniupnya, menghabiskan sisa tawa yang kutahan.
--
Begitulah..
Aku tidak budeg, ya.
Perlu beberapa waktu
hingga akhirnya kita mampu mendengar jauh lebih jelas Scottish accent. Selama quarantine, aku berjam-jam mencari
referensi dari social media seperti
Instagram dan Youtube untuk belajar memahami accent ini. Cukup rumit. Bahkan personal tutor-ku di Uni pun
bercerita bahwa itu hal wajar, beliau yang seorang American native pun tidak
langsung paham sewaktu pertama kali menginjakkan kaki di Scotland. Sampai
kebingungan sendiri di taxi. Jadi,
aku tidak perlu khawatir. Pelan-pelan pasti terbiasa, begitu katanya.
Setelah quarantine berakhir hingga sekarang,
yang terbaik pastinya learning by doing.
Keluar rumah dan bersosialisasi dengan penduduk local. Luckily, tidak jauh dari sifat orang Indonesia, Scottish sangat
ramah dan baik kepada masyarakat asing (ada banyak pendatang di
Stirling, mostly students). Mereka
selalu menyapa orang lain di jalan walaupun tak saling kenal, siapapun itu, tanpa memandang perawakan. Di bus stance misalnya, aku sering disapa
oleh elder people untuk membantunya
melihat jadwal bis, atau terkadang parubaya yang sekedar bertanya “Are you
student here? What’s your course? Where are you from?”. Mereka, well
I’m not gonna lie, Scottish people,
sangat ramah dan peduli dengan sekitarnya. Termasuk senang hati membantu ketika
telingaku ‘mendadak budeg’ lagi
sewaktu-waktu.
Keep
these stories as a souvenir from me and friends. Take care.
Good
BalasHapusHollaa, makasih dah mampir mbaa Aisyah :p :D
HapusMaasyaa Allah mbak nin, terus berkarya mbak sukses selalu ^^
BalasHapusAamiin ya robbal alamin, terimakasih. Sukses jugaa yaa!
HapusNgakak dah membacanya...
BalasHapusHahaa, bocil nyasar yo pak
Hapus