I was not born as an Angel, but wait..
..........
....................................
“Dear
my beloved, my own self. We were not born as an angel, but at least we did our
best” batinku menghibur diri. Dari hari sedih, kata-kata buruk, tatapan kecewa
orang lain, dan pikiran jahat tentang kesalahan masa lalu atau kebencian. Orang
lain meremehkan, aku diam. Yang lainnya berujar pesimis berkata aku tak akan
bisa, tak kuambil hati. Perasaan mana yang tak terluka, tapi sembuh atau
semakin parah adalah pilihan. Kadang aku cuma berempati terhadap orang-orang
yang marah padaku, yang teriak marah, tak suka, menilai sesuatu tanpa melihat
proses. Kubayangkan saat level emosiku di zona negative (marah, sedih, takut) dan benar-benar ingin
menumpahkannya. Aku pun juga teriak, meluap-luap, berucap seperti tak
terkontrol. Namun perlahan berubah, aku tersadar dan menyesali; sepertinya aku
tak perlu demikian. Lalu nanti akan ada saat kurenungkan apa yang harus
kubenahi. Satu-satunya yang bisa kukendalikan, cuma diriku sendiri. Manusia
lain begitu rumit. Aku tak paham apa yang mereka pikirkan, aku tak mengerti
kenapa responnya seperti keluar dari alur di kepalaku. Maka, sebagai manusia, kumaafkan
mereka yang tak bisa kutebak dan kuelus ubun-ubunku; aku tengah memaafkan diri.
Ekspektasi setiap orang berbeda adalah lumrah. Tapi mengorbankan diri untuk penuhi ekspektasi orang lain perlu diluruskan. Aku senang jika diberitahu letak salah, tapi aku merasa tak enak saat dikritik. Menurutku kata ‘kritik’ di masa kini sudah bergeser makna. Dulu orang-orang mengkritik dengan tujuan membangun. Nowadays, kritikan sekarang tidak berat bobotnya, terselubung purpose nya. Boleh jadi, kritik adalah bentuk hujatan yang terkemas sedikit rapih, atau kemunculannya karena hasrat ekspektasi si kang kritik yang tidak terpenuhi. Pikiranku terbuka akan perubahan jika kritikan yang disampaikan masih sesuai maknanya dengan makna terdahulu. Tapi hati jujur saja tidak selalu suka. Lalu bagaimana menanggapi kritikan yang datang? Ya pelan-pelan kuterima. Apakah ada benarnya ‘kata orang’? For me, I accept positive and negative words, but never the toxic words. Negatif belum tentu tidak baik. Bisa saja di unsur kata-kata negative itu, ada sirat makna yang positif. Itu tetap baik meski kesannya agak ditekan untuk merubah sedikit banyak hal lama yang melekat. Tapi toxic, tidak akan tertelan olehku. Itu beda.
Orang
lain bebas tak suka, benci, mencela tapi respon terhadap itu semua ada di
diriku. Aku berhak menentukan tanggapan sekalipun itu di dalam hati. Bahkan aku
punya hak untuk merespon baik-baik saja di mulut, tapi teriak kencang dalam
hati. Ya begitulah, aku manusia. Paling tidak, lebih sederhana mengontrol diri pribadi
daripada ikut campur pikiran orang lain, even
hanya berekspektasi.
Stoicism ya? I will say yes. Aku punya kebiasaan mengisi hal positif setiap pagi
dan malam. Menonton Youtube, baca buku, mendengar podcast, menulis puisi singkat atau agenda mingguan. Jika aku bepergian, list
Spotify ku pasti beragam tiap harinya. Tidak jauh dari yang aku butuhkan. Musik
bernada semangat jika aku butuh frekuensi lebih untuk memulai hari, musik genre
folk jika butuh ketenangan, dan musik sedih jika aku butuh meluapkan sisa emosi
yang sulit keluar. Jika hati bosan dan mulai haus, lantunan ayat suci Al-Quran
selalu melegakan. Selain itu, aku juga suka podcast tentang berita
terbaru, terlebih kasus atau pelajaran hidup. Karena menurutku belajar dari
kasus-kasus rumit akan mengasah problem solving
skill dan memberi insight baru
dalam beropini. Bagiku, berpikir kritis dan tanggap terhadap sekitar sangat penting. Dari sinilah aku
mendapat hal baru bernama stoicism
yang sebenarnya selama ini telah kujalani. Makin kupelajari, semakin cocok. Seorang
kawan yang juga berkuliah di Inggris memberiku bacaan bagus berjudul Filosofi
Teras karya Henri Manampiring. Sangat ringan, tapi bisa jadi tambahan reference. Memang betul, hidup tidak sendiri, tapi yang menentukan kualitas, tetap individu. Alhamdulillah,
Tuhan karuniai aku banyak orang di circle
kehidupanku yang baru. Orang-orang yang peduli untuk berkembang meski sayangnya tidak semua sabar menerima proses yang kulalui. ”Terlalu lambat, tidak konsisten,
tidak pernah mau berubah” paling sering kudengar. Tapi ini jadi negative words di otakku. Kuolah agar outputnya tidak gagal. Kata-kata ini
menyakiti di awal, tapi kuproses baik. Bukan toxic words yang tak bisa kutelan.
It is okay jika perubahan pada diri
belum tampak, but in my deepest soul, I
feel it. Orang-orang belum tentu sabar atas usaha diriku, tapi aku
bersyukur karena diri dan segala unsur di dalamnya tetap kompak untuk berprogress sedikit demi sedikit. Sebab itulah
hatiku pun ikut sikron karena pikiranku mendorong melaju ke zona ikhlas; dimana aku
bisa menerima kenyataan dan melanjutkan hidup dengan tenang.
Kuliah
di luar negeri, punya teman-teman baru, hidup di skala yang tidak diam. Mengajarkanku
berkembang dari pikiran sempit ke terbuka, progress
yang stucked jadi berlari kencang, dan emosi yang labil jadi lebih kokoh. Sejak
hidup di Inggris, aku jarang merasa mager. Sekalipun tidur, ada banyak hal di
otakku. Aku bahkan jarang check pesan Whatsapp, sesekali saja. Aku nyaman tegak di
posisi saat ini; focus dan maju. Meskipun
tentu saja banyak hal berkutat sewaktu di bus, makan, atau ketika pikiran sejenak
teralihkan. Kangen keluarga, bagaimana cara mengatasi? Nilai essay belum
maksimal, bagaimana agar bisa meningkat selanjutnya? Sakit hati, bagaimana bisa berubah jadi senang? “Focus pada solusi, bukan masalahnya. Tidak
akan pernah selesai jika kamu focus ke situ-situ saja” kata seorang yang
selalu menyeretku agar selalu melek untuk berkembang. Ini pedas, negative words karena diucapkan dengan
emosi amarah. Tapi ini purposenya kebaikan,
maka terproses baik pula di otak.
Oh,
sebentar. Jangan pikir aku melakukannya untuk memuaskan ekspektasi orang lain
ya. Aku menerima itu untuk diriku sendiri. I am not perfect, tapi dengan
berkembang ke arah positif, aku bisa mencapai versi terbaik seorang aku, even I am just Reliza, a human. I could be very well done.
Tapi
bagaimanapun, proses tidak mudah:
“Curiga
kamu ke Scotland cuma buat nyetok foto” sebuah komen di postingan feed Instagramku. Lucunya, selang beberapa minggu kemudian, orang yang bersangkutan mengirimkan direct
message “Titip softcase Iphone boleh ya kalo pulang Indo hehe”.
atau
dari orang yang pernah memberi support terbaik untuk mewujudkan impianku
berkuliah di luar negeri, “Kukira lanjut studi bisa lebih baik tutur katanya,
ternyata malah downgrade”.
You know what, it
hurted, darling. But I will never take it deeply. I lately put it on my logical
thoughts so it’s going to be processed. Kuulangi, aku tak bisa mengontrol apa yang manusia
lain pikir, jadi cukup aku control responku
terhadap hal-hal demikian. Aku terima, aku maafkan. Mudah-mudahan bisa segera
kuperbaiki.
Apa
karena hidup di luar negeri, pikiran bisa terpengaruhi? It could be. Tapi yang menentukan pilihan atas apa yang akan dijalani adalah diri sendiri. Mendapatkan
words yang supportive salah satunya dengan choosing
your own circle.
“Yuk
ngopi, kita discuss”.
“Yuk
nongkrong, sambil buka laptop biar tetep produktif ya”.
“Nih
guys, ada podcast keren di Youtube”.
“Kalian
tau ga guys, aku dapet insight bagus
nih”.
“Semangat,
kita harus optimis pasti bisaaaa”
“Berat
ya, tapi jangan sedih terus. Ayo kita pasti bisa nulis essay lebih bagus”
“Cus
daftar link student hubs service,
bisa konsultasi juga writingnya. Buruannn”
“Kangen
masakan indo geng, masih punya bumbu instan gak? hehe”
“Aku
masak banyak nih, nanti kita makan siang bareng-bareng ya”
“Geng,
bangun. Solat subuh tepat waktu yuk”
“Guys,
aku dah tanya ustad tentang makanan yang alcoholic
even just a bit. Nih pesannya aku forward
okay”
“Mulai
stressful ya akhir-akhir ini. Wandering mau gak? Sekitaran Bridge of
Allan aja. Aku nemu tempat healing
yang bagus”
“Gapapa
usaha dikit belanjanya di town, agak jauh memang, yang penting kita makan ayamnya yang halal ya
mulai sekarang”.
“Aku
kesepian nih, sedih keinget keluarga di rumah. Kumpul yuk”
Dan
banyak lagi, kata-kata yang sering kudengar, yang membangkitkan diri, saling
memotivasi untuk berkembang jadi manusia versi maksimal masing-masing.
Aku tidak
sepenuhnya setuju dengan kata “I do not
care what people say”.
Menurutku itu penting, walau tidak semuanya perlu diolah dan diterima. Hidup
sudah keras, jangan terima hal-hal yang keras lagi. Nanti malah terhantam dan
pecah. Punya teman yang kritik ini itu, hujat dan olokan, terima saja. Karena kusadari,
kadang aku pun khilaf melakukan sesuatu berlebihan. Terlalu banyak post di social media, terlalu kasar ucapannya
jika sedang marah, terlalu lambat berkembang, dan sebagainya.
“Dia
hebat ya, sudah berkeluarga, kerja, punya baby,
tapi bisa meluncurkan buku. Produktif sekali ya. Bagaimana kira-kira time managementnya ya?”
“Sosok
wanita independent, tidak bergantung
pada orang lain terutama pada pasangannya, itu keren”
Role model sebagai
motivasi, sangat boleh. Yang haram ialah menjiplak hidup seseorang. We have different background, dreams,
circle, isi dompet hehe.
Contohlah sebagian tapi tidak lebih. Tuhan ciptakan alur setiap orang itu
berbeda. Kita diberi modal utama; akal. Ubah mindset saja dulu, sebagai partikel
terkecil dari unsur perubahan. Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri
Inggris punya kutipan yang bagus untuk jadi pengingat:
“Watch your
thoughts for they become words. Watch your words for they become actions. Watch
your actions for they become habits. Watch your habits for they become your
character. And watch your character for it becomes your destiny. What we think,
we become. My father always said that.. and I think I am fine”
Dari
sekian role model sosok perempuan hebat yang kutahu, ibuku yang terbaik. Aku ingat
sewaktu usiaku belia, tanpa sengaja aku membaca pesan sangat toxic dari nomor
tak dikenal yang masuk ke ponsel ibuku. Pertama kalinya, aku kaget –untuk seorang
anak kecil, sudah pasti. Pesan itu tidak menghujat, tapi ancaman penuh dengki,
dan aku benci sekali. Beberapa hari itu mengganggu kepalaku. Aku tidak
bercerita ke siapapun, termasuk ke ibuku. Tapi aku sama sekali tak melihat
kegelisahan di gesture beliau. Biasa saja
hari-harinya, sosok yang tetap hangat kepada anak-anaknya. Kerja, berkumpul bersama
keluarga, tak tampak rasa sedih dan takut. Hingga suatu hari aku menangis, lupa
karena apa, tapi tentu tidak sebanding dengan apa yang ibu hadapi.
“Boleh
sedih, boleh menangis, tapi jangan berlarut ya. Buang jauh-jauh pikiran buruk. Percaya
Allah selalu melindungi dan kamu akan merasa baik-baik saja. Jika semua masalah
dalam hidup ibu, ibu pikirkan terus-terusan, ibu mungkin takut, dan tidak punya
semangat” ibuku menghibur dengan lembut. Setelah itu, perasaanku jauh lebih
baik. Apa yang ibuku bilang ada benarnya. Pikiran bisa membawa penyakit. Pikiran
bisa menimbulkan rasa cemas yang tidak perlu. Pikiran bahkan bisa menggiring
seseorang untuk mengakhiri hidupnya. However, you need to always remember; pikiran bisa membuat bahagia, damai,
dan tenang. Siapa yang bisa control pikiran? Diri sendiri.
That is why, meskipun aku tidak terlahir
sebagai malaikat, aku punya sesuatu yang lebih dari modal; pikiran yang progressive. Menjadi versiku ya
ng
maksimal memang tidak mudah. Tapi langkah awal, tentu dari mindset. Ciptakan
circle yang positif, saling motivasi agar berkembang, jangan justru bermental
kepiting –melihat teman sendiri sebagai saingan. Kok bisa ciptakan? Yes, dengan
siapa bergaul pun bisa membentuk karakter. Berteman dengan siapa saja, bisa
kok. Tapi hanya orang-orang terpilih yang berada di circle, untuk sharing,
discuss, and support. Also, percaya bahwa Tuhan pasti mengabulkan mimpi-mimpi
dan doa yang baik. Karena dengan yakin dan berusaha, serta menyuguhkan positive words untuk diri, akan
menggiring semesta untuk support
peristiwa-peristiwa baik di dalam hidup.
I am happy and I feel blessed. No need to be born as an angel to bring a miracle in this life
Komentar
Posting Komentar